Jumat, 25 Januari 2013

Etnografi Sulawesi selatan

etnografi sulawesi selatan: bugis-makassar

Suku bangsa Bugis dan Makassar kini merupakan suku bangsa yang sebagian besar memeluk agama Islam. Sebelum kedatangan agama Islam mereka dapat dikatakan menganut kepercayaan bahwa dalam benda-benda tertentu terdapat kekuatan-kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Masyarakat Sulawesi Selatan sebelumnya memiliki kepercayaan kepada benda-benda pusaka yang dianggap keramat, memiliki kekuatan tertentu atau kekuatan ghaib di masa lalu yang disebut gaukang. Istilah gaukang lebih menunjuk pada benda seta hasil pernuatan (Ahimsa, 2007:107). Benda-benda ini disimpan dalam palangka
Pada dasarnya komunitas-komunitas tradisional merupakan komunitas ritual yang menyelenggarakan rituil pemujaan roh nenek-moyang secara bersama setahun sekali pada hari-hari tertentu (Ahimsa, 1993:19). Ada beberapa macam rituil dan pada dasarnya pusat rituil ini berupa benda-benda peninggalan nenek-moyang yang disimpan oleh salah seorang kerabat yang mampu dan pantas, dalam hal ini, kaum bangsawan sebagai bukti bahwa mereka merupakan “keturunan”. Benda-benda ini merupakan tempat roh-roh nenek moyang yang biasa datang. Dengan demikian, benda-benda tersebut selalu dirawat oleh masyarakat agar para roh tidak marah dan menurut kepercayaan mereka dapat membantu para masyarakat yang meminta bantuan.
Gaukang dapat dikatakan sebagai karaengi atau aru yang sebenarnya (Ahimsa, 2007: 108). Karaeng merupakan sebagai perantara atau penjaga dari gaukang tersebut. Asumsinya bahwa pusaka tidak dapat dipisahkan dari kedudukan seorang karaeng karena kedua-duanya merupakan suatu kesatuan. Di mana terdapat gaukang, di situ pulalah terdapat aru atau karaeng bertempat tinggal karena ada anggapan bahwa gaukang ini juga memiliki kebutuhan, seperti rumah, sawah, kebun, hutan, tempat berburu, dan lain sebagainya. Penduduk juga beranggapan bahwa gaukanglah yang mengatur segala bentuk atau macam mengenai hidup-matinya mereka. Apabila mereka punya keinginan tertentu seperti misalnya ingin mendapat jodoh,ingin mendapat panen yang bagus, ingin memperoleh anak mereka biasa bernazar, bahwa kalau keinginan mereka terkabul mereka akan memberikan korban berupa ayam, kambing, atau kerbau di tempat-tempat keramat atau korban untuk gaukang mereka.
Kooreman berpendapat bahwa gaukang adalah sebuah benda yang aneh bentuk atau warnanya dan ini bisa berupa batu, sepotong kayu, buah-buahan tertentu, sepotong kain atau kadang-kadang senjata atau perisai dengan kekhususan tertentu. Dengan kata lain menurut Ahimsa (2007, 109) bahwa gaukang adalah benda aneh yang diketemukan atau didapat dengan cara yang aneh, rahasia, atau dengan cara yang luar biasa. Tempat diketemukannya gaukang in yang dianggap sebagai tempat tinggal yang cocok untuk manusia dan gaukang-gaukang ini dianggap mempunyai kekuatan yang luar biasa, contoh ketika wabah kolera mengganas di daerah Sulawesi Selatan pada tahun 1864—1865 dan meminta korban ribuan orang, penduduk kemudian mengadakan pesta ornament, dan penyakit tersebut berangsur berkurang.
Ada dua sisi pengaruh dalam gaukang, selain membawa berkah juga dapat memberikan bencana. Seseorang akan mendapat berkah jika tetap merawat benda tersebut dengan menyimpannya di tempat terhormat, bersih, dan memberikan sesembahan untuk benda-benda tersebut setiap hari. Jika mengabaikannya maka akan mendapatkan bencana. Selain itu, gaukang merupakan bukti bagi kaum bangsawan bahwa mereka “masih keturunan”, maka gaukang juga merupakan alat legitimasi politik, legitimasi bagi mereka untuk bisa menempati lapisan atas dan memperoleh priveleges tertentu. Masyarakat memiliki anggapan bahwa kepemilikan gaukang ini merupakan bukti “keturunan” atau masih bergelar bangsawan dan gaukang berkaitan erat dengan anggapan masyarakat bahwa melalui benda itu pemegang, penerima kekuasaan dan akan terikat ikrar kepatuhan, ketaatan dan tata tertib yang diwarisi oleh pendiri kerajaan, sehingga dapat memikat pengakuan dan ketaatan dari rakyat bahwa seseorang yang dianugrahi memiliki gaukang pada dirinya tercermin kepemimpinan karismatik yang pada akhirnya bermuara pada kedudukan seorang karaeng sebagai pemilik kallabbirang (kemuliaan), kacaraddekang (kepintaran), kabaraniang (keberanian), kakalumayyangang (kekayaan) (http/ www.geocities.comgnew_palakatgartikelg004.htm).
Dapat diketahui bahwa gaukang dianggap sangat penting karena gaukang ini menguasai dan turut menentukan hidup-matinya manusia, menentukan kesejahteraan, kesehatan, serta kemakmuran masyarakat. Berbagai bencana yang tidak mampu mereka atasi dengan pengetahuan mereka meminta gaukang untuk meredakannya. Dengan meminjam kekuasaan gaukang yang sangat besar, seorang aru mendapatkan kekuatan yang besar pula untk menentukan terpeliharanya keteraturan (order) dalam kehidupan mereka.
B.
Daerah Sulawesi Selatan, khususnya daerah pantai, misalnya saja Makassar mengalami proses pengislaman yang berbeda dengan kota-kota pelabuhan lainnya. Proses Islamisasi dimulai dari kalangan masyarakat pedagang, di Makassar bermula dengan Raja dan keluarga raja. Kejadian ini kemudian mempengaruhi secara strukturil bahwa agama adalah tanggung jawab langsung dari para bangsawan penguasa (Mattulada, 1976: i).
Ada beberapa perubahan yang terjadi di masa Islam terhadap system kepercayaan di kalangan orang Bugis-Makassar. Salah satu perubahan yang tampak, terutama setelah didirikannya masjid adalah diselenggarakannya sholat Jumat secara rutin, sebelum masuk Islam, pelaksanaannya sholat Jumat sama sekali tidak dikenal. Tidak ada orang berkumpul untuk sholat bersama (Ahimsa, 1993: 26). Selain itu, sholat yang rutin diadakan adalah sholat tarawih, sholat Idul Fitri, dan sholat Idul Adha.
Sholat bersifat social, menyangkut banyak orang sehingga menuntut untuk dibentuk badan yang mengatur kegiatan social rutin tersebut. Oleh karena itu, dibentuk badan yang disebut Syara’ yang bertugas mengatur penyelanggaraan ibadah, menentukan kapan ibadah tertentu menurut penanggalan Islam, menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, dan mengurusi kegiatan-kegiatan social islam lainnya. Syara’ ini beranggotakan Kadhi, Khatib, Imam, Bilal atau muazzin, dan dua atau tiga penjaga masjid.
Selain itu, perubahan juga terlihat pada system budaya, terutama dalam hal penanggalan dan konsep merka mengenai dunia atau kosmos serta kedudukan manusia dalam kosmos tersebut. Sebelum islam masuk, masyarakat menggunakan system penanggalan tradisional yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Dengan demikian, masyarakat menjadi mengenal hari-hari mulia, seperti hari Jumat. Selain itu juga mengenal perayaan seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Isra’ Mi’raj, dan lain sebagainya.
Kemudian perubahan pada pandangan kosmologis yang diyakini adanya tokoh Allah yang menguasai langit dan bumi. Pada mulanya orang Sulawesi Selatan mengagumi karaeng, namun dewasa ini lebih mengagumi Allah dan tokoh-tokoh mitologis seperti nabi Muhammad Rasullulah dan para sahabatnya serta cerita-cerita kepahlawan. Secara tidak kentara masyarakat Bugis-Makassar juga mengalami perubahan kelembagaan dan pranata yang mengatur banyak aspek kehidupan masyarakat, mulai dari kelahiran hingga kematian.
Masuknya organisasi social Muhammadiyah ke Bugis-Makassar juga membawa beberapa perubahan, seperti memperolehnya pendidikan ala “Barat” dengan menggabungkan ajaran Islam. Kemudian perubahan di sector organisasi social seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sehingga masyarakat pada umumnya di Bugis-Makassar mulai mengetahui cara berorganisasi dengan baik. Di dalam bidang keagamaan, perubahan yang tanpak adalah antara lain adalah bertambahnya khatib untuk sholat Jumat. Sebelumnya hanya diadakan di masjid kerajaan.
DI/TII juga membawa perubahan terhadap system kepercayaan lama mereka karena pada dasarnya “kaum gerombolan” ini ingin menerapkan atau mendirikan sebuah Negara Islam. Mereka membasmi penyembahan berhala dengan cara menghancurkan tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh orang untuk melaksanakan nazar., seperti di gua, batu besar, pohon besar, dan lain sebagainya. Terkadang “kaum gerombolan ini langsung ke balla lompoa untuk memusnahkan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang. Selain itu, mereka melarang orang menggunakan gelar kebangsawanan “karaeng” untuk enyapa atasan atau orang yang dianggap lebih tinggi karena di dalam Islam kedudukan mereka sama sedang “karaeng hanya ada satu, yaitu “karaeng Allah ta’ala”. Oleh karena itu, gelar karaeng yang digunakan untuk menyebut orang lain adalah orang yang mempersekutukan Allah dengan makhluknya dan merupakan kemusyrikan dan itu merupakan dosa besar.
2. A.
Dapat diketahui, masyarakat Sulawesi Selatan pada masa itu merupakan masyarakat yang mengenal pelapisan social yang ketat (Friedericy dalam Ahimsa, 1933, 1993: 39). Ada yang mengatakan bahwa tinggi rendahnya status seorang individu ditentukan atas dasar prosentase darah bangsawan atau kemurnian darahbangsawan yang mengalir dala tubuhnya, yang bisa dilacak dengan melihat silsilah individu tersebut. Dalam system social tersebut, individu yang memiliki status kebangsawanan rendah tidak berhak memerintah individu yang status kebangsawanannya yang lebih tinggi sebab individu yang lebih tinggi memiliki kekuasaan dan kekuatan yang lebih besar (Kooreman dalam Ahimsa, 1883,1993: 39).
Raja-raja merupakan keturunan langsung dari tokoh To-Manurung inilah yang dianggap memiliki darah bangsawan yang putih warnanya atau mempunyai darah dewa. Makin banyak darah yang mengalir dalam diri seorang raja, makin sakti dan suci raja tersebut dan akan makin sejahtera pula kerajaannya. Dengan adanya pandangan ini orang Sulawesi Selatan tidak lagi begitu mempersoalkan apakah raja tersebut pria atau wanita, diambil dari daerah sendiri atau daerah lain. Yang terpenting di sini adalah kemurnian darah yang dianggap merupakan jaminan akan sejahteranya kerajaan yang diperintahnya. Untuk menjaga kemurnian tersebut, raja harus menikahi seorang yang berdarah murni bangsawan pula. Namun pada kenyataannya, seringkali terjadi perkawinan campuran. Pernikahan semacam ini memunculkan berbagai golongan, misalnya orang Wajo yang membagi-bagikan masyarakatnya dalam beberapa tingkatan menurut derajat kebangsawanan. Tingkat yang pertama adalah lapisan ana’ matola atau ‘anak penerus’, kedua anakarung atau ‘anak-anak dari para aru, dan ketiga adalah tau deceng atau orang-orang baik dan tau tongeng karoja. Golongan keempat adalah tau ammeng atau maradeka, yakni orang-orang merdeka, dan kelima terdiri dari para budak. Golongan orang yang termasuk berdarah murni yang berhak mewarisi kedudukan raja. Hal semacam ini merupakan salah satu bentuk pelapisan social yang kaku karena kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hak yang sama dan tidak semua orang atau individu untuk menaikkan status social mereka sebab masih diukur dengan kemurnian darah tadi.
Pelapisan social yang luwes ini terjadi ketika Islam masuk ke Sulawesi Selatan, seperti melalui pendidikan, kekayaan, maupun agama. Masuknya organisasi social Muhammadiyah ke Bugis-Makassar menyebabkan masyarakat memperolehnya pendidikan ala “Barat” dengan menggabungkan ajaran Islam atau dengan penghapusan system social ala DI/TII di mana seorang wanita mendapat lamaran pria tidak boleh menolak kecuali dengan alas an bahwa si pria masih di bawah usia 15 tahun, impoten, berpenyakit menular atau cacat, berpengarai buruk sehingga berdampak bahwa pelapisan lama yang kaku dan ketat, akhirnya pudar sebab banyak terjadi percampuran antara darah biru dengan darah merah orang biasa. Dengan demikian, tiap individu dengan luwes berkesampatan untuk mendapatkan kedudukan yang lebih baik melalui pendidikan, ataupun perkawinan dengan asumsi di dalam agama Islam bahwa semua orang adalah sama.
B.
Masuknya Islam telah memungkinkan munculnya lapisan social baru, misalnya Sholat bersifat social, menyangkut banyak orang sehingga menuntut untuk dibentuk badan yang mengatur kegiatan social rutin tersebut. Oleh karena itu, dibentuk badan yang disebut Syara’ yang bertugas mengatur penyelanggaraan ibadah, menentukan kapan ibadah tertentu menurut penanggalan Islam, menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, dan mengurusi kegiatan-kegiatan social Islam lainnya. Syara’ ini beranggotakan Kadhi, Khatib, Imam, Bilal atau muazzin, dan dua atau tiga penjaga masjid. Kadhi ini diangkat oleh raja untuk membantu dalam hal aturan-aturan atau hukum-hukum dalam agama sehingga ada pelapisan social yang baru di mana nantinya Syara’ ini bertambah kuat dan Hadat merasa lebih rendah kedudukannya karena semakin sedikitnya para pemegang adat-istiadat.
Selain itu Pelapisan social yang luwes ini terjadi ketika Islam masuk ke Sulawesi Selatan, seperti melalui pendidikan, maupun agama sehingga muncul lapisan baru yaitu para cendekia yang kedudukannya tinggi di dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan maasuknya organisasi social Muhammadiyah ke Bugis-Makassar menyebabkan masyarakat memperolehnya pendidikan ala “Barat” dengan menggabungkan ajaran Islam. Kemudian, pelapisan social baru juga dapat diperoleh dengan status haji. Jika seseorang yang sudah melaksanakan haji maka kedudukan atau status seseorang akan meningkat.
Islam juga telah memungkinkan munculnya lapisan social yang baru melalui ajaran-ajarannya bahwa Islam menganggap semua orang adalah sama. Dengan demikian, tidak ada lagi pelapisan social di dalam masyarakat. Kemudian penghapusan system social ala DI/TII di mana seorang wanita mendapat lamaran pria tidak boleh menolak kecuali dengan alas an bahwa si pria masih di bawah usia 15 tahun, impoten, berpenyakit menular atau cacat, berpengarai buruk sehingga berdampak bahwa pelapisan lama yang kaku dan ketat, akhirnya pudar sebab banyak terjadi percampuran antara darah biru dengan darah merah orang biasa. Dengan demikian, tiap individu dengan luwes berkesempatan untuk mendapatkan kedudukan yang lebih baik. Dampaknya dari peraturan ini beberapa gadis keturunan kebangsawanan kemudian menikah dengan orang biasa dan pelapisan lama yang ketat dan kaku mulai pudar.


3.
Dalam system politik tradisional Bugis-Makassar, raja tidak dituntut untuk aktif menjalankan pemerintahan dan hal ini erat hubungannya dengan konsepsi orang Bugis Makassar bahwa seorang raja tidak harus berpoltik atau menjalankan pemerintahan. Bentuk pemerintahan kakaraengan (kerajaan) berawal dari sebuah mitologi yang didirikan di masa lalu oleh seorang yang telah turun dari langit, yang disebut To Manurung. Tokoh ini mengembara di daerah-daerah. Daerah-daerah yang dikunjunginya ini kemudian menjadi padang rumput, yang kemudian diolah oleh penduduk menjadi daerah persawahan seperti sekarang. Oleh karena kehebatannya ini, To manurung kemudian diangkat oleh rakyat menjadi raja mereka dengan gelar karaeng.
System kerajaan di sini merupakan sebuah kerajaan federasi. Raja merupakan tokoh “primus ibterpares (first among equals) yang dipilih oleh anggota Hadat, sebuah dewan yang anggotanya adalah kepala-kepala kelompok komunitas tradisional yang berhak mengangkat dan memberhentikan raja (Ahimsa, 1993:17). Akan tetapi, seorang raja dalam hal ini kekuasaan raja tetap tidak berkuasa secara absolute. Tokoh karaeng ini merupakan tokoh simbolis yang menyatukan seluruh masyarakat. Dalam pemerintahan sehari-hari, karaeng tidak begitu aktif. Pola yang dijumpai adalah tokoh raja yang pasif. Kepasifan ini berkaitan dengan konsep orang Sulawesi Sleatan mengenai kekuasaan dan tugas seorang raja, sedang pemerintahan dilaksanakan oleh pemimpin Hadat dan anggota-anggotanya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa, Heddy Shri. 1993. Peranan Islam dalam Perubahan Sosial di Sulawesi Selatan: Kasus dari daerah Bantaeng. Laporan penelitian. Yogyakarta: belum diterbitkan.
_________________. 2007. Patron & Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional-Struktural. Yogyakarta: Kepel.
Mattulada. 1976. Islam di Sulawesi Selatan. Jakarta: LIPI.
www.geocities.comgnew_palakatgartikelg004.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar